Sabtu, 08 April 2017

Psikologi Pendidikan: Pendidikan Multikultural

Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan dan mewadahi beragam perspektif dari berbagai kelompok kultural. Tujuan penting dari pendidikan multikultural adalah pemerataan kesempatan bagi semua murid. Ini termasuk mempersempit gap dalam prestasi akademik antara murid kelompok utama dengan kelompok minoritas (Bennett, 2003; Pang, 2001; Schmidt & Mosenthal, 2001). Pendidikan multikultural muncul dari gerakan hak-hak sipil pada 1960-an dan gerakan untuk pemerataan kesetaraan dan keadilan sosial dalam masyarakat untuk wanita serta orang Kulit Berwarna. Pendidikan multikultural mencakup isu-isu yang berkaitan dengan status sosioekonomi, etnisitas, dan gender. 

Karena keadilan sosial adalah salah satu nilai dasar dari bidang ini, maka reduksi prasangka dan pedagogi ekuitas menjadi komponen utamanya (Banks, 2001). Reduksi prasangka adalah aktivitas yang dapat diimplementasikan guru di kelas untuk mengeliminasi pandangan negatif dan stereotip terhadap orang lain. Pedagogi ekuitas adalah modifikasi proses pengajaran dengan memasukkan materi dan strategi pembelajaran yang tepat baik itu untuk anak lelaki maupun perempuan dan untuk semua kelompok etnis. 

Memberdayakan Murid
Istilah pemberdayaan (empowerment) berarti memberi orang kemampuan intelektual dan keterampilan memecahkan masalah agar berhasil dan menciptakan dunia yang lebih adil. Menurut pandangan ini,  sekolah harus memberi murid kesempatan untuk belajar tentang pengalaman, perjuangan, dan visi dari berbagai kelompok kultural dan etnis yang berbeda-beda (Banks, 2001, 2002, 2003). Harapannya adalah hal ini akan meningkatkan rasa harga diri minoritas, mengurangi prasangka, dan memberikan kesempatan pendidikan yang lebih setara.

Pengajaran yang Relevan Secara Kultural
Pengajaran yang relevan secara kultural adalah aspek penting dari pendidikan multikultural (Gay, 2000; Irvine & Armento, 2001). Pengajaran ini dimaksudkan untuk menjalin hubungan dengan latar belakang kultural dari pelajar (Pang, 2001). 

Pendidikan yang Berpusat Pada Isu
Dalam pendekatan ini, murid diajari secara sistematis untuk mengkaji isu-isu yang berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan sosial. Pendidikan ini tak hanya mengklarifikasi nilai, tetapi juga mengkaji alternatif dan konsekuensi dari pandangan tertentu yang dianut murid. 

Meningkatkan Hubungan di Antara Anak dari Kelompok Etnis yang Berbeda-beda
Ada sejumlah strategi dan program untuk meningkatkan hubungan antar anak-anak dari kelompok etnis yang berbeda-beda:
  • Kelas Jigsaw
Kelas jigsaw merupakan kelas di mana murid dari berbagai latar belakang kultural yang berbeda diminta bekerja sama untuk mengerjakan beberapa bagian yang berbeda dari suatu tugas untuk meraih tujuan yang sama. Terkadang strategi kelas jigsaw ini dideskripsikan sebagai upaya menciptakan tujuan utama atau tugas bersama untuk murid. 
  • Kontak Personal dengan Orang Lain dari Latar Belakang Kultural yang Berbeda
Kontak itu sendiri tidak selalu berhasil meningkatkan hubungan. Hubungan meningkat ketika murid saling berbicara satu sama lain tentang kecemasan mereka, kesuksesan mereka, kegagalan mereka, strategi mereka untuk mengatasi masalah, minat mereka, dan sebagainya. 
  • Pengambilan Perspektif
Latihan dan aktivitas yang membantu murid melihat perspektif orang lain dapat meningkatkan relasi antar-etnis. Dalam satu latihan, murid-murid belajar perilaku tertentu yang tepat dari dua kelompok kultural yang berbeda (Shirts, 1997). Kemudian, kedua kelompok itu berinteraksi satu sama lain sesuai dengan perilaku tersebut. Hasilnya, mereka merasakan kegelisahan sekaligus pemahaman. Latihan ini di desain untuk membantu murid memahami gegar budaya yang muncul sebagai akibat dari berada di setting kultural dimana orang berperilaku dengan cara yang berbeda dengan yang biasa dilakukan murid.
  • Pemikiran Kritis dan Inteligensi Emosional
Murid yang belajar berpikir secara mendalam dan kritis tentang relasi antar-etnis kemungkinan akan berkurang prasangkanya dan tak lagi menstereotipkan orang lain. Intelegensi emosional bermanfaat bagi hubungan antar-etnis. Kecerdasan emosional berarti punya kesadaran diri tentang emosi, mengelola emosi, membaca emosi, dan menangani hubungan. 
  • Mengurangi bias
Berikut ini beberapa strategi antibias yang direkomendasikan untuk guru:
- Ciptakan lingkungan kelas antibias dengan memasang gambar anak dari berbagai latar belakang etnis dan kultural.
- Pilih materi drama, seni, dan aktivitas kelas yang memperkaya pemahaman etnis dan kultural.
- Gunakan boneka "persona" untuk anak kecil.
- Bantu murid menolak stereotip dan diskriminasi.
- Ikutlah dalam aktivitas peningkatan kesadaran untuk memahami pandangan kultural Anda sendiri secara lebih baik dan untuk menangani stereotip atau bias yang mungkin Anda miliki.
- Bangun dialog guru/orang tua yang membuka diskusi tentang masing-masing pandangan; lakukan tukar-menukar informasi tentang bagaimana anak mengembangkan prasangka; dan beri tahu orang tua tentang kurikulum antibias.
  • Meningkatkan Toleransi
Teaching Tolerance Project menyediakan sumber daya dan materi kepada sekolah untuk meningkatkan pemahaman antarkultur dan hubungan antara anak Kulit Putih dengan Kulit Berwarna (Heller & Hawkins, 1994). Tujuan majalah ini adalah untuk berbagi pandangan dan menyediakan sumber materi untuk mengajar materi toleransi. 
  • Sekolah dan Komunitas sebagai Satu Tim
Psikiater dari Yale, James Comer (1988; Comer, dkk., 1996) percaya bahwa tim komunitas merupakan cara terbaik untuk mendidik anak. Program Coper menekankan pendekatan no-fault (yaitu fokus pada pemecahan masalah, bukan saling menyalahkan), tidak ada keputusan kecuali melalui konsensus dan tidak ada "paralysis" (yakni, tak ada suara tidak setuju yang bisa menghadang keputusan mayoritas). 

Isu Apakah Inti Nilai "Putih" Mesti Diajarkan atau Tidak
Beberapa pendidik menentang penekanan pada pemberian informasi tentang kelompok etnis yang berbeda melalui kurikulum sekolah. Mereka juga menentang pendidikan etnosentris yang menekankan pada kelompok minoritas non-Kulit Putih. Dalam salah satu proposal, Arthur Schlesinger (1991) mengatakan bahwa semua murid seharusnya diajari seperangkat nilai inti, yang menurutnya berasal dari tradisi Anglo-Protestan Kulit Putih. Dalam proposal lainnya, E.D. Hirsch (1987) menekankan agar semua murid diajari inti pengetahuan kultural umum untuk memastikan agar mereka menjadi "melek budaya". 
Jadi, pendidikan multikultural dikritik oleh orang yang berpendapat bahwa semua anak seharusnya diajari satu nilai inti bersama, terutama nilai Anglo-Protestan Kulit Putih. Namun, pendukung pendidikan multikultural tidak menentang pengajaran nilai inti seperti itu selama ia tidak keseluruhan kurikulum. 

Sumber :
Santrock, J. W. (2007). Psikologi Pendidikan (edisi kedua). Jakarta: Prenada Media Group

0 komentar:

Posting Komentar